Unsocial Experiment - No Social Media - Dya Ragil

11 Agustus 2018

Unsocial Experiment - No Social Media

Keputusan impulsif yang saya lakukan secara spontan beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 23 Juli 2018, adalah, "Saya akan log out dari sosial media selama sebulan mulai besok."



Maka, jadilah. Mulai tanggal 24 Juli 2018, saya log out dari Facebook, Twitter, dan Instagram. Saya memilih log out, bukan deactive, karena saya akan butuh mereka untuk promosi karya saya di masa depan. Karena deactive akun saat tidak butuh, lalu mengaktifkannya lagi saat butuh, akan sangat merepotkan dan seolah kerja dobel tanpa alasan. 

Saya juga menghapus semua aplikasi sosial media dari ponsel saya. Bahkan untuk urusan ponsel, saya menghapus SEMUA aplikasi yang tidak saya butuhkan dan saya anggap hanya berguna sebagai distraksi, yang efeknya lebih banyak negatifnya daripada positifnya buat saya. Saya hanya menyisakan aplikasi mendasar seperti di bawah ini:



Aturan saya: keep it simple and basic!

Bahkan saya menghapus browser dari ponsel karena saya hanya akan terus memegang ponsel sambil berseluncur di dunia maya secara nirfaedah. Jika saya memang sedang butuh mencari sesuatu di internet, saya akan membuka laptop, bukan ponsel. Aplikasi chat tetap saya pertahankan karena saya membutuhkannya untuk komunikasi pekerjaan, semacam Whatsapp dan Line versi lite. Canva? Berguna saat saya ingin membuat gambar cepat untuk posting blog seperti dua gambar di atas. Saya punya masalah dengan login Canva di laptop, jadi aplikasinya tetap saya pertahankan di ponsel.

Kenapa saya mau repot melakukan semua itu?
Berawal dari kesadaran sendiri, bahwa setiap kali saya sedang berada di tengah-tengah pekerjaan, ponsel saya sangat berisik oleh notifikasi. Pada awalnya niat saya hanya ingin mengecek tentang apa notifikasi yang muncul, tapi saya malah tenggelam dan berakhir dengan mengecek Facebook, Twitter, dan Instagram, selama berjam-jam. Lalu pekerjaan pun terlupakan. Procrastination yang sempurna, bukan?

Sosial media bukan hal buruk karena banyak orang bisa terkoneksi melaluinya. Namun, bagi orang yang sudah teracuni seperti saya dan kesulitan mengontrol jari-jemari sendiri hingga mampu mengutak-atik sosial media selama berjam-jam, hal itu adalah sesuatu yang buruk. Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Sebelum tidur, yang saya lakukan adalah mengecek ponsel. Bangun tidur, langsung mengecek ponsel. Saat berkumpul bersama keluarga pun saya hanya sibuk dengan ponsel. Baterai ponsel saya pun harus di-charge setiap tiga atau empat jam sekali. Begitu banyak waktu tersia-sia. Dua puluh empat jam sehari rasanya sangat tidak cukup bagi saya.

Jika saya tidak mengecek sosial media untuk beberapa menit saja, saya akan takut ketinggalan info yang sedang hit sekaligus hot di linimasa. Seolah jika saya ketinggalan info, itu hal yang sangat buruk bagi saya. Perasaan absurd seperti itulah yang terus mengikat saya hingga sampai tahapan adiktif. Siapa bilang hanya narkoba yang bisa bersifat adiktif?

Maka, saya pun berkata pada diri saya sendiri: "Cukup!"

Alhasil, saya melakukan eksperimen ini. Tiga puluh hari tanpa sosial media. Bisakah saya bertahan?

Minggu Pertama
Itu adalah satu minggu yang bagai neraka buat saya (Oke, itu hiperbola). Rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Tak terhitung berapa kali tangan saya begitu gatal untuk membuka laptop dan kembali login di Facebook, Twitter, dan Instagram.

Ada kabar apa hari ini? Ada update apa dari para penulis yang saya follow? Adakah komentar di status-status saya, atau bahkan likes terbaru? Foto-foto ciamik macam apa lagi dari instragramer ini instagramer itu? Anyone please tell me! I wanna know!

Kemudian, coba tebak, setelah seminggu penuh pertanyaan gaje semacam itu melintas, setelah seminggu penuh bertarung melawan jari-jari saya sendiri... I won the battle!

Yes, pada akhirnya setiap kali godaan menyerbu tanpa ampun, akal sehat saya melawan sengit. Saya mulai bisa pasrah dan menerima kenyataan, bahwa saya sedang puasa sosial media.

Yes, PU-A-SA! 

Kalau menahan lapar dan haus selama sebulan pada Bulan Ramadhan saja bisa, kenapa hidup tanpa sosial media dalam sebulan malah tidak bisa? That's ridiculous and pathetic.

Jadi, saya bertahan. Walaupun dengan sangat terpaksa.

Minggu Kedua
Minggu kedua saya dimulai dengan penerimaan, dan diakhiri dengan legowo.

Pelan tapi pasti, saya pun menyadari bahwa saya bisa hidup tanpa sosial media. Tanpa perlu tahu berita terbaru dan apa yang sedang viral di dunia maya, saya tidak akan mati. Meskipun saya tidak tahu-menahu tentang perkembangan yang terjadi pada status-status yang saya posting, saya tidak akan mati.

Lalu, inilah yang akhirnya saya sadari: Ternyata saya tidak ketinggalan apa pun!

Orang-orang terdekat saya, teman-teman saya, tahu kabar saya tanpa saya perlu membuat status apa pun. Saya pun tahu kabar mereka tanpa perlu melihat status mereka di sosial media, karena saya hanya tinggal berkomunikasi dan bertanya langsung dari tangan pertama.

Orang-orang terkenal di jagat maya yang saya follow di Twitter? Teman-teman di Facebook yang bahkan sebagian besar tidak pernah saya kenal? Foto-foto liburan dan hal-hal random yang biasa saya lihat di Instagram? Ternyata saya tidak membutuhkannya. Dan perlahan saya menyadari bahwa hidup saya menjadi lebih tenang dan damai tanpa hal-hal itu.

Saya pun memiliki lebih banyak waktu luang dan tidak melulu berdiam diri di dalam kamar, kecuali saat sedang bekerja (ya, pekerjaan saya memang remote dari rumah). Di luar jam kerja, saya berusaha sesering mungkin keluar kamar, mengobrol dengan penghuni rumah, mengunjungi kandang kucing (kucing saya belum lama melahirkan lho, anaknya lima dan unyu-unyu #penting #duniaharustahu), mengurusi dapur, hingga cuci mata keluar rumah, dan jalan-jalan entah ke mana.

Alhasil, saya sukses keluar dari kandang hikikomori (baca: my lovely bedroom). Saya lebih banyak berinteraksi, bahkan sesekali ngobrol dengan tetangga saat kebetulan bertemu, tanpa paksaan. Padahal sebelumnya saya sebisa mungkin tidak ingin melakukan itu.

Perkembangan Terbaru
Lantas, setelah dua minggu berlalu, dan sekarang memasuki hari ke-19, apa yang terjadi?

Hidup saya menjadi lebih ada artinya.

Sesimpel itu.

Segala anggapan saya tentang keburukan yang bisa terjadi jika saya meninggalkan sosial media, ternyata hanya anggapan kosong. Banyak hal baik lain yang bisa saya lakukan setelah meninggalkan sosial media, sekarang, setelah waktu luang saya bertambah secara signifikan. Jam kerja saya menjadi tidak semepet dulu, bahkan sekarang saya punya waktu untuk membaca buku dan pergi keluar rumah. Memang manajemen waktu saya belum sempurna, tapi apalah saya hanyalah manusia. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Namun, saya tetap akan mengusahakan yang terbaik untuk bisa lebih efektif memanfaatkan waktu 24 jam yang sudah dengan dermawan diberikan oleh Tuhan.

Toh, sekarang ini belum genap sebulan saya puasa sosial media, jadi kesimpulan di atas bukanlah kesimpulan final. Namun saya yakin, kalaupun ada penambahan kesimpulan, akan lebih banyak positifnya daripada negatifnya.

Kemudian, setelah sebulan berakhir nanti apakah saya akan kembali bersosial media atau memperpanjang eksperimen ini? Who knows? Saya tak bisa membaca masa depan, walaupun tentu saja kemungkinan besar saya akan memilih pilihan kedua.

Semoga.


Akhir kata, sekian dan terima kasih.

Salam~



Tidak ada komentar:

Posting Komentar